KRISIS PEMANASAN GLOBAL, TAGIH JANJI PERTAMINA -->

Breaking news

Live
Loading...

KRISIS PEMANASAN GLOBAL, TAGIH JANJI PERTAMINA

Thursday 25 May 2017

Gambar ilustrasi 
Krisis pemanasan global serta semakin menurunnya kualitas udara di kota-kota besar akibat polusi menjadi ancaman serius.

Jakarta, Media Investigasi- Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha mengemukakan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap dampak krisis pemanasan global dan perubahan iklim ini. Seperti diketahui penyumbang emisi karbon di Indonesia terbesar berasal dari LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry) yang mencapai 50 persen. Sementara sektor energi menyumbang emisi 30 persen yang berasal dari transportasi, atau sekitar 12 persen. Sehingga, 90 persen penyebab polusi udara dari BBM transportasi darat.

Krisis pemanasan global serta semakin menurunnya kualitas udara di kota-kota besar akibat polusi menjadi ancaman serius. Oleh karenanya situasi ini menjadi perhatian utama pemerintah dengan mengedepankan penggunaan energi baru dan terbarukan. Sekaligus mendorong disusunnya Undang-undang Energi Baru Terbarukan (UU EBT).

Dengan demikian visi pembangunan energi ke depan harus menitikberatkan pada pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Sejalan dengan ditandatanganinya  persetujuan Paris (COP21). Apalagi diketahui, pada tahun 2015, bauran energi nasional terdiri dari 39 persen minyak, 22 persen gas, 29 persen batubara, dan 10 persen EBT. Sedangkan pada tahun 2025 bauran energi tersebut direncanakan menjadi 25 persen minyak, 22 persen gas, 30 persen batubara, dan 23 persen EBT; dan pada tahun 2050 menjadi 20 persen minyak, 24 persen gas, 25 persen batubara, dan 31 persen EBT.

“DPR akan terus mendukung visi pemerintah tentang bauran energi hingga 2050 yang mengutamakan penggunaan EBT hingga 31 persen. Bahkan, kami di Komisi VII juga mendorong pembentukan UU EBT,” tegas Satya.

Indonesia harus konsisten penggunaan EBT ke depan mulai dari konversi ke BBG dalam bentuk CNG serta mengubah BBM yang beroktan 88 ke Euro4 bahkan Euro5 untuk menjamin energi bersih. Disamping upaya-upaya konkret yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencegah dampak pencemaran udara yang semakin meluas.

Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai penerapan BBM berstandar Euro 4 melalui Peraturan Menteri LHK sejak 10 Maret 2017 lalu, bahwa semua kendaraan bermotor di Indonesia wajib menggunakan BBM standar Euro 4 mulai tahun depan (2018, red).

“Kita akan tagih ke PT Pertamina, kapan siapnya untuk menyediakan BBM yang berstandar Euro 4 itu. Karena kebutuhan akan BBM yang lebih bersih semakin tinggi di dunia, sementara di Indonesia selama ini masih berstandar Euro 2. Akibatnya kualitas udara kita masih rendah karena pencemaran udara yang cukup besar.

Penerapan penggunaan BBM berstandar Euro 4 tersebut, menurutnya, bukan hanya tanggung jawab Kementerian LHK semata, tapi juga harus bersinergi dengan kementerian lain, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan serta Kementerian BUMN.

Maka dari itu, kontrol pelaksanaan langsung oleh Menteri Koordinator supaya lebih kuat, karena jika dipegang satu kementerian, maka dikuatirkan akan terjadi ego-sektoral, dan ini bisa menghambat realisasi.

Satya yang juga salah satu Board Member di Air Quality Asia (AQA) menggambarkan bahwa di tengah laju pertumbuhan ekonomi kawasan Asia yang meningkat. Aspek kualitas udara menjadi sangat penting. Negara-negara kawasan tidak bisa mengabaikan begitu saja terhadap isu tersebut, karena ini sudah menjadi isu global.

Dalam konteks Indonesia, Satya meminta Pemerintah Indonesia harus mulai melakukan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak polusi udara. Seperti membangun pendeteksi baku mutu PM2.5 di 45 kota besar yang sesuai dengan standar WHO. Saat ini, baru di Jakarta, Bandung dan Bogor yang menerapkan baku mutu udara.

“Energi bersih sudah menjadi kebutuhan, ke depan Indonesia harus benar-benar terbebas dari penggunaan BBM berkadar emisi tinggi,” tutup politisi asal dapil Jawa Timur itu.(indly)
Editor: Rosyid