Baiq merupakan bekas guru honorer di SMA N 7 Mataram. Ketika masih bertugas di SMAN tersebut, dia sering mendapatkan perlakuan pelecehan dari M, Kepala Sekolah SMA tersebut. Baiq ditelepon M yang menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya.
Merasa tak nyaman dengan hal tersebut, dan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan orang, Baiq merekam pembicaraannya. Belakangan rekaman tersebut menyebar, sehingga M melaporkannya dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Mataram, Baiq tidak terbukti menyebarkan konten bermuatan pelanggaran kesusilaan. Belakangan, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Pada putusannya pada 26 September 2018 menyatakan, Baiq bersalah dengan vonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyebutkan, Mahkamah Agung (MA) tidak hati-hati memutuskan perkara tersebut. "Sedari awal ICJR memantau atas kasus ini. Juga mengirimkan amicus curiaekepada Pengadilan Negeri Mataram. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan, Baiq tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana," katanya.
ICJR beralasan, unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE harus dikaitkan dengan pasal kesusilaan dalam KUHP. Dimana perbuatan yang dilarang adalah penyebaran konten bermuatan pelanggaran asusila yang diniatkan untuk menyebarkannya di muka umum.
Sementara berdasarkan fakta persidangan, Baiq tidak pernah menyebarkan konten pelanggaran asusila tersebut. Pihak lain yang justru menyebarkan rekaman percakapan antara M dan Baiq.
Terkait perbuatan yang dilakukan Baiq Nuril, yaitu merekam percakapannya dengan M, adalah bagian upaya pembelaan diri. Juga merupakan tindakan peringatan kepada orang lain, agar tidak menjadi korban M seperti dirinya.
Tindakan peringatan tersebut berdasarkan Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dan putusan MA No. 300K/Pdt/2010 merupakan perbuatan yang tidak dapat dipidana. "Putusan kasasi ini menandakan, tidak ada keseragaman pemahaman terkait menafsiran UU ITE dalam lingkup peradilan," kritik Maidina.
ICJR mengingatkan, dalam lingkup peradilan, hakim Mahkamah Agung juga telah terikat pada Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang berhadapan denganHukum. Termasuk dalam konteks perempuan yang didakwa melakukan tindak pidana. Lewat Pasal 3 Perma tersebut, hakim wajib mengindentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum. "Hal ini jelas dialami Baiq yang merupkan korban kekerasan seksual. Harusnya semua hakim menerapkan Perma ini untuk menjamin perlindungan korban kekerasan yang rentan perlakuan kriminalisasi," tandasnya.
Kuasa hukum Baiq, Joko Jumadi mengatakan, ratusan orang dan LSM menyampaikan dukungan serta jaminan penangguhan penahanan Baiq Nuril. Menurutnya, Baiq kaget mendengar vonis tersebut. Namun pihaknya berencana menempuh langkah hukum lanjutan. "Harapan beliau agar tak segera dieksekusi oleh kejaksaan sebelum 10 Desember," ujarnya.
Sebelumnya, dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Mataram pada 26 Juli 2017, majelis hakim memvonis Baiq bebas. Tidak terima, jaksa lantas mengajukan kasasi ke MA perkara pelanggaran UU No 11/2008 tentang ITE.
Baca juga : Rekam Percakapan Mesum Kepala Sekolah Dihukum 6 Bulan
Dalam putusan tertanggal 26 September 2018, MA melalui majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni justru menganulir keputusan PN Mataram. MA juga menjatuhkan vonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan penjara kepada terdakwa. Dilansir RMOL [mi]