Jelang Pilpres 2019, Keselamatan Jurnalis Diperhatikan -->

Breaking news

Live
Loading...

Jelang Pilpres 2019, Keselamatan Jurnalis Diperhatikan

Saturday 6 April 2019


Jakarta, (MI)- Menjelang Pilpres 2019, kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis mulai bermunculan di sejumlah daerah. Menghadapi tantangan ini, beberapa lembaga berkolaborasi membentuk Komite Keselamatan Jurnalis, Jumat (5/4/2019), di Gedung Dewan Pers, Jakarta.

Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang 2018. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.

Dalam konteks kebebasan pers, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, Reporters Sans Frontieres atau Reporters Without Borders, pada 2018, menempatkan Indonesia di peringkat ke-124 dari 180 negara. Dengan peringkat ini, prestasi Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan pers masih di bawah Timor Leste (ke-95), Afghanistan (ke-118), dan Nigeria (ke-119).

Tahun ini potensi kerawanan kerja jurnalis di lapangan diprediksi meningkat. “Menjelang Pilpres 2019, Dewan Pers menerima begitu banyak pengaduan dari tim sukses pasangan calon nomor satu maupun nomor dua. Semuanya mengadukan pemberitaan yang dibuat oleh pers,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau biasa dipanggil Stanley dalam Diskusi “Mengakhiri Kasus Kekerasan Jurnalis di Indonesia pada Tahun Politik dan Peluncuran Komite Keselamatan Jurnalis” di Dewan Pers.

Menjelang Pilpres 2019 dilansir kompas.com, Dewan Pers menerima begitu banyak pengaduan dari tim sukses pasangan calon nomor satu maupun nomor dua. Semuanya mengadukan pemberitaan yang dibuat oleh pers.

Menurut Stanley, sekarang tren ancaman kekerasan terhadap jurnalis tak lagi dilakukan oleh aparat tetapi justru muncul dari kelompok-kelompok massa/komunal. Bahkan, dalam beberapa kasus ada kecenderungan perubahan dari aktor negara ke kalangan bisnis, terutama pemilik media yang memaksakan liputan media sesuai kepentingan mereka.

“Ancaman lain yang dialami jurnalis adalah pemidanaan menggunakan undang-undang pidana dan undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Meski demikian, wartawan-wartawan yang benar-benar bekerja profesional pasti tidak bisa dijerat dengan UU pidana maupun UU ITE,” kata dia.

Dalam rangka melindungi jurnalis dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, Dewan Pers berupaya menjadikan hukum pers sebagai lex specialis. Langkah ini dilakukan dengan membuat nota kesepahaman dengan Kapolri (diperpanjang per 9 Februari 2017), dengan Kejaksaan Agung, dengan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008, dengan Panglima TNI (ditandatangani 9 Februari 2017), dan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Pemidanaan narasumber
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, bentuk-bentuk  pelanggaran kebebasan pers kini semakin meluas, bukan saja mengarah pada jurnalis dan media, tetapi juga kepada narasumber. “Pendapat-pendapat narasumber di media dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik atau fitnah. Arahnya berubah, awalnya kriminalisasi jurnalis atau media tetapi kemudian mengarah kepada narasumber,” ujarnya.

Arahnya berubah, awalnya kriminalisasi jurnalis atau media tetapi kemudian mengarah kepada narasumber.

Narasumber dengan segala pernyataannya yang dimuat di media pada dasarnya merupakan bagian dari karya jurnalistik. Karena itu, segala macam sengketa yang muncul dari pemberitaan semestinya diselesaikan melalui Dewan Pers.

“Prinsipnya, pertangungjawabannya tidak bisa sekadar dibebankan kepada narasumber tetapi juga kepada media yang menayangkannya. Jika praktik-praktik seperti ini dibiarkan, maka banyak narasumber bisa dipidanakan dan jurnalis akan semakin sulit mencari berita karena narasumber menjadi takut untuk dikutip pernyataannya,” papar Ade.

LBH Pers juga mengamati sejumlah kasus ketika sejumlah media melakukan investigasi dan meluncurkan hasil peliputannya, pihak Kepolisian langsung memanggil jurnalis untuk di-BAP (berita acara pemeriksaan) untuk dilanjutkan ke proses hukum, termasuk menjadikan jurnalis sebagai saksi di persidangan. Praktik-praktik pemeriksaan seperti ini menurut Ade sangat tidak elegan karena praktis akan mengganggu dan mengikis pekerjaan-pekerjaan jurnalis.

“Semestinya, penyidik hanya memanfaatkan hasil peliputan sebagai pintu masuk untuk melanjutkan penyelidikan tanpa harus mengganggu pekerjaan jurnalis,” kata dia.


Tren kolaborasi
Ketua Umum AJI Abdul Manan menambahkan, pembentukan Komite Keselamatan Jurnalis menjadi salah satu bagian tren kolaborasi kerja-kerja jurnalistik yang berkembang akhir-akhir ini. Dalam peliputan investigasi, sekarang berkembang platform bersama Indonesialeaks yang diikuti sejumlah media, begitu juga dalam hal memberantas berita-berita palsu dan menguji fakta muncul cekfakta.com yang merupakan kolaborasi antar media.

“Organisasi-organisasi wartawan yang konsen dengan perjuangan kebebasan pers sebagian besar hanya memiliki jaringan di beberapa kabupaten/kota saja sehingga daya jangkaunya terbatas. Karena itu, kita perlu berkolaborasi bersama-sama dengan membentuk Komite Keselamatan Jurnalis. Kita semua tentu berharap tidak akan terjadi kekerasan. Meski demikian, kita tetap harus melakukan antisipasi untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk,” ucap dia.

AJI dan sejumlah lembaga serta didukung oleh Internasional Media Support (IMS) menginisiasi kolaborasi dalam penanganan kasus kekerasan pers dan Jurnalis. Komite Keselamatan Jurnalis beranggotakan  AJI, LBH Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesti International Indonesia, serta Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi.
[dwa]