Hukuman mati bagi terdakwa korupsi bisa berikan efek jera -->

Breaking news

Live
Loading...

Hukuman mati bagi terdakwa korupsi bisa berikan efek jera

Friday 17 December 2021


Kejaksaan turut berfokus pada upaya pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi yang terjadi, dok. istimewa (17/12).


Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan pemberian hukuman mati bagi terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi bisa memberikan efek jera.


Menurutnya, hal tersebut juga dapat menjadi upaya pencegahan kasus-kasus serupa seperti kasus ASABRI dan Jiwasraya terjadi lagi di masa mendatang.


"Hukuman mati pada para terdakwa tindak pidana korupsi, hal ini bertujuan menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi," kata Burhanuddin dalam keterangannya, Kamis (16/12).


Ia pun membantah apabila upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pihaknya selama ini hanya berorientasi pada pemberian hukuman semata.


Menurutnya, Kejaksaan turut berfokus pada upaya pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Sehingga, kata dia, penegakan hukum pidana juga dapat memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat.


"Saat ini hukum dirasa hampa tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat," ucap Burhanuddin.


"Muncul kegelisahan bagaimana cara merubah paradigma penegakan hukum dalam menghadirkan tujuan hukum dapat tercapai secara tepat dalam menyeimbangkan yang tersurat dan tersirat," jelasnya.


Selain terobosan hukum pemberian tuntutan mati bagi terdakwa korupsi, Jaksa Agung juga mengatakan bahwa kebijakan penghentian tuntutan berdasarkan keadilan restoratif juga menjadi salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut.


Ia mengatakan bahwa kebijakan itu mengubah paradigma hukum di kalangan jaksa yang semula berorientasi pemidanaan retributif atau pada pelaku, yang kini turut memperhatikan perspektif keadilan bagi korban juga.


Sebagai informasi, tuntutan mati diajukan Jaksa dalam perkara korupsi PT ASABRI (Persero) terhadap terdakwa Heru Hidayat lantaran ia merupakan terpidana dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Jiwasraya (Persero) yang merugikan keuangan negara hingga Rp16,8 triliun.


Heru dinilai terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan, yaitu dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan bahwa skema kejahatan yang dilakukan terdakwa di kedua kasus mega korupsi tersebut sangat sempurna dan dilakukan secara berulang-ulang.


Selain itu, Kejaksaan juga mengatakan bahwa Heru Hidayat tak memiliki empati lantaran tak beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela.


Jaksa mengatakan Heru telah memperkaya diri terkait pengelolaan saham PT ASABRI. Selain Heru, dua mantan Dirut ASABRI juga turut diperkaya oleh Heru. Jaksa menilai tindakan Heru telah mencederai rasa keadilan masyarakat.


Jaksa juga menuntut Heru mengembalikan uang pengganti senilai Rp12,6 triliun. Jika Heru tak membayar uang pengganti setelah 1 bulan pembacaan putusan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya bisa disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.


Namun demikian, ide pemberian hukuman mati itu ditentang oleh sejumlah aktivis termasuk Amnesty International Indonesia (AII). Hukuman itu dianggap tak efektif untuk memberi efek jera. "Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera," kata Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid kepada wartawan, Senin (6/12).

(dw/*)