Kilah Otak Kotor Dan Hukumnya -->

Breaking news

Live
Loading...

Kilah Otak Kotor Dan Hukumnya

Thursday 21 March 2019


Jakarta, (MI)- Memberi peringatan dengan menegur bisa dilakukan yang kadangkala ujungnya argumen, ada saja kilahnya si otak kotor untuk mengelak. Kasus pelecehan seksual secara umum sering terjadi dijumpai dimana-mana, tidak ada pandangan tempat, situasi apapun siotak kotor akan mencari celah untuk melaksankan aksinya, ini penjelasan terkait hukum pelaku pelecehan seksual yang dilansir dari hukumoline berikut penjelasannyan, (21/03).

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual, Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.

Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Pendapat yang mendukung hal di atas juga diutarakan oleh Nina Tursinah, S.Sos, M.M., Ketua Bidang UKM, Wanita Pekerja, Pengusaha, Gender & Sosial DPN Apindo (sebagaimana pernah dikutip dalam artikel yang berjudul Apakah Memandang Termasuk Pelecehan Seksual?), ada empat bentuk pelecehan seksual yaitu:

a.    Fisik, kontak langsung tubuh, mencubit, mencium, menatap dengan nafsu

b.    Lisan, komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi

c.    Isyarat, bahasa tubuh yang bernada seksual

d.    Tulisan, Gambar, pornografi, postek seksual atau pelecehan lewat email dan model komunikasi elektronik

e.    Psikologis, Emosional, ajakan terus menerus dan tidak diinginkan kencan yang tidak diharapkan penghinaan, celaan.

Akan tetapi, pendapat berbeda dapat dilihat melalui penjelasan R. Soesilo (Ibid) dalam Pasal 281 KUHP. Sebagaimana kami sarikan, R. Soesilo mengatakan bahwa kesopanan dalam pasal tersebut adalah dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pengrusakan kesopanan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. Dapatkah hal itu dilakukan dengan perkataan? Prof. Dr. D. Simons menentang kemungkinan perkosaan terhadap kesopanan dengan perkataan. Dalam hal dengan perkataan, orang dapat dikenakan Pasal 315 KUHP.

Sebagaimana dikutip oleh R. Soesilo, Mr. W.F.L. Buschkens berpendapat lain, ialah bahwa merusak kehormatan (penghinaan) itu suatu pengertian umum, yang juga meliputi merusak kesopanan apabila meliputi pernyataan (baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan) yang mengenai nafsu kelamin, maka kesopanan itu merupakan suatu pengertian yang khusus yang lebih sempit dan bahwa berdasar atas ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka Pasal 281 KUHP lebih baik digunakan daripada Pasal 315 KUHP.

Jadi sebagaimana diuraikan di atas, tindakan pelecehan seks secara verbal yg terjadi di tempat umum dapat dipidana. Akan tetapi, masih terdapat pro dan kontra mengenai pasal mana dalam KUHP yang dapat digunakan. Ada yang berpendapat untuk menggunakan Pasal 281 KUHP dan ada juga yang berpendapat untuk menggunakan Pasal 315 KUHP (penghinaan ringan).
[ros]
Sumber Hukumonline