Tim Advokasi Novel: Sidang penyiram air keras terhadap Novel formalitas -->

Breaking news

Live
Loading...

Tim Advokasi Novel: Sidang penyiram air keras terhadap Novel formalitas

Friday 20 March 2020


Tim Advokasi menilai bahwa sidang penyiram air keras terhadap Novel Baswedan tidak lain hanyalah formalitas belaka.

Jakarta (MI)- Tim Advokasi Novel Baswedan menyebut sidang kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan merupakan sebuah panggung sandiwara.

Tim Advokasi menilai sidang tersebut hanya formalitas belaka setelah melihat sejumlah kejanggalan dalam sidang pembacaan dakwaan di PN Jakarta Utara, Kamis (19/3/2020) kemarin.

"Tim Advokasi menilai bahwa sidang penyiram air keras terhadap Novel Baswedan tidak lain hanyalah formalitas belaka. Sidang dilangsungkan cepat, tidak ada eksepsi, tidak beroritentasi mengungkap aktor intelektual, dan kemungkinan besar berujung hukuman yang ringan," kata anggota Tim Advokasi Novel, Saor Siagian, dalam siaran pers, Kamis malam.

Tim Advokasi menduga penuntasan kasus penyiraman air keras terhadap kliennya akan berhenti pada pelaku lapangan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, tanpa mengungkap auktor intelektualis.

Dugaan itu tercermin dari surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang tidak mengungkit keberadaan auktor intelektualis di balik dua pelaku lapangan.

"Dalam dakwaan JPU tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan. Patut diduga Jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," kata Saor.

Saor menuturkan, dakwaan JPU juga mengesankan bahwa kasus tersebut adalah tindak pidana penganiayaan biasa yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Sebab, tidak ada Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait perintangan penyidikan dan Pasal 340 KPK atau pasal pembunuhan berencana yang dikenakan kepada dua terdakwa.

"Tidak ada Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 340 atau pasal pembunuhan berencana sesuai fakta bahwa Novel diserang karena kerjanya menyidik kasus korupsi dan hampir saja kehilangan nyawanya karena cairan air keras masuk ke paru-paru," ujar Saor.

Saor menambahkan, dakwaan JPU tersebut juga seolah-olah mengamini motif sakit hati yang disampaikan terdakwa.

"Hal mana sangat janggal karena tidak mungkin sakit hati karena Novel menyidik korupsi di kepolisian, para terdakwa kemudian rela melakukan tindak pidana," kata Saor lagi.

Padahal, kata Saor, Novel tidak kenal dan tidak pernah juga berhubungan dengan terdakwa dalam menyidik tindak pidana korupsi.

Menurut Tim Advokasi Novel, hal-hal yang tercantun dalam daksaan JPU itu bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebut kasus itu terkait dengan kasus dugaan korupsi yang ditangani Novel serta adanya sosok auktor intelektualis di balik kasus tersebut.

9 Pengacara dari Mabes Polri dan Tak Ajukan Eksepsi

Tim Advokasi kemudian juga mempertanyakan sikap Mabes Polri yang mengerahkan 9 orang pengacara untuk membela Ronny dan Rahmat di persidangan.

"Mabes Polri menyediakan 9 orang pengacara untuk membela Para Terdakwa. Hal yang sangat janggal karena perbuatan pidana Para Terdakwa bukanlah tindakan dalam melaksanakan tugas institusi," kata Saor.

Kejangggalan lainnya, lanjut Saor, ke-sembilan pengacara tersebut tidak mengajukan eksepsi untuk para terdakwa.

Tim Advokasi Novel menduga hal itu merupakan bagian dari upaya mempercepat proses persidangan dibanding perdidangan pada umumnya.

"Sidang selanjutnya langsung kepada tahap pembuktian dan memeriksa saksi. Artinya sidang dibuat cepat dari lazimnya sidang pidana," ujar Saor.

Atas kejanggalan-kejanggalan tersebut, Tim Advokasi pun mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk turut memantau jalannya persidangan.

"Kami mendesak Komnas HAM memantau persidangan ini karena terindikasi untuk menyembunyikan jejak pelaku perencana/penggerak dan jauh dari temuan Komnas HAM," kata anggota Tim Advokasi Novel lainnya, Alghiffari Aqsa.

Seperti diketahui, laporan Komnas HAM sebelumnya menyebut penyerangan terhadap Novel dilakukan terencana dan sistematis.

Sedangkan dakwaan JPU menyatakan, dua terdakwa dalam kasus ini, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir melakukan aksinya dengan motif sakit hati.

Selain Komnas HAM, Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Kejaksaan, Komnasham, Ombudsman RI, dan Organisasi Advokat juga diminta untuk aktif memantau seluruh proses persidangan Kasus ini.

Tim Advokasi pun mendesak majelis hakim mengadili kasus ini dengan independen dan progresif.

"Kami mendesak Majelis Hakim mampu untuk mengadili kasus ini dengan independen dan progresif untuk mengungkap kebenaran materiil dalam kasus Novel Baswedan sehingga persidangan kasus ini dapat memberikan keadilan bagi korban dan masyarakat," kata Alghiffari, dilansir Kompas.com, Jumat (20/3/2020).

Diberitakan, dua terdakwa dalam kasus ini, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir didakwa melakukan penganiayaan berat terencana terhadap Novel dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Ronny dan Rahmat yang disebut sebagai polisi aktif itu melakukan aksinya lantaran rasa benci karena Novel dianggap mengkhianati institusi Polri.

Dalam dakwaan tersebut mereka dikenakan Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Lebih Subsider Pasal 351 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Novel disiram air keras pada 11 April 2017 lalu setelah menunaikan shalat subuh di Masjid Al Ihsan, tak jauh dari rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Akibat penyerangan tersebut, Novel mengalami luka pada matanya yang menyebabkan gangguan pengelihatan.