Pernikahan Ustad Bagus Mulyono Ala Sufi Di Rengas Dengklok -->

Breaking news

Live
Loading...

Pernikahan Ustad Bagus Mulyono Ala Sufi Di Rengas Dengklok

Saturday 28 August 2021

Jacob Ereste :


Pernikahan Ustad Bagus Mulyono Ala Sufi Di Rengas Dengklok.


Karawang - Kebahagiaan dari pernikahan kawan kami, keluarga besar Tim Gerakan Kebangkitan Kesadaran Spiritual Bangsa Indonesia, yaitu Ustad Bagus Mulyono pada hari Jum'at Keramat, 27 Agustus 2021 di Rengas Dengklok, Karawang tempat yang ikut tercatat sejarah menjelang hari kemerdekaan Indonesia, ada kesan banyak sekali berkahnya.


Jika biasanya pada hari pernikahan itu pihak mempelai yang menerima banyak bingkisan, kali ini justru sebaliknya.


Dua kelompok yang intinya satu juga yang datang dari Jakarta,  sudah membawa beragam misteri. Saya sungguh ikut merasakan kebahagian kedua mempelai sambil melahap nikmat hidangan khas  rakyat yang bersahaja. Setidaknya, Mak Wati dan Ita Pakpahan serta Mas Eko Sriyanto Galgendu yang dikenal sebagai tokoh spiritual Indonesia, saya lihat sempat nambah makan dengan lauk pauk   yang terhidang bebas di teras rumah. Hingga mereka seperti sedang makan di rumahnya sendiri dengan lahap dan sekehendak hati. Saya cuma bisa menduga, mungkin begitu tradisi kaum sufi mengekspresikan kegembiraan hati untuk seorang sohib yang baru mau naik kepelaminan.


Bayangkan saja, usai makan dan acara ngobrol berlangsung, ada acara pemesanan untuk minum kopi yang spesial karena langsung dibuat sendiri oleh sang pengantin.


Padahal, bagi banyak orang yang masih percaya pada budaya tradisi, sang pengantin pada hari pernikahannya patut mendapat perlakuan seperti raja dan ratu pada hari yang keramat itu. 


Begitulah uniknya  perilaku aktivis dan pegiat dari gerakan kebangkitan kesadaran spiritual yang kelak hasilnya bisa mengubah perilaku bangsa Indonesia menuju kebaikan meliputi tata etika (unggah ungguh), moral dan mental seperti yang digagas Presiden Joko Widodo dari  konsep Nawacita itu yang belum juga tampak ujud keberhasilannya itu. Seperti gagasannya yang lain, seperti BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang juga tidak jelas juntrungannya itu sampai srkarang. Sebab perilaku bejad masih terjadi dan dilakukan lebih massif oleh pejabat penerintan dan wakil rakyat di parlemen.


Yang korup, berbohong, munafik bahkan zalim dan khianat pada amanah rakyat, terkesan semakin jamak dilakukan tanpa rasa malu.


Semua prilaku degil serupa itu diyakini oleh GMTI dan kawan-kawan pegiat serta relawan dan aktivis dari gerakan  kebangkitan kesadaran spiritual bangsa Indonesia dapat meredakannya. Meski tidak seketika itu dapat menghentikannya  semua perilaku bejad itu. Karena para koruptor, serta aparat yang zalim maupun mereka yang khianati terhadap amanah rakyat ini adalah orang pintar -- bahkan kaum intelektual dan akademisi top dari berbagai kampus -- hanya saja tak bermoral dan tak memiliki etika (unggah ungguh) seperti yang diwariskan para leluhur.


Dalam perspektif spiritual, saya kira pilihan cara merayakan hari bahagia dari pernikahan yang memilih cara paling sederhana itu, kelak dapat menentukan pada  pilihan sikap dari cara hidup bersahaja yang menjauhkan diri dari kemewahan yang tiada guna, kecuali ria dan snobis semata.


Setidaknya, bagi para penempuh jalan spiritual, mulai dari perjanan dari Jakarta menuju Rengas Dengklok mampu dinikmati sebagai bagian dari ibadhah, tanpa beban. Tanpa pamrih. Lillahi ta'als, suka rela tanpa paksaan dari pihak mana pun, dan tidak juga oleh siapa pun. Hingga rasa nyaman, damai  tenteram dan kegembiraan menjadi berkah, tak hanya bagi kedua mempelai yang dikunjungi, tapi juga bagi siapa saja yang mengunjungi acara pernikan itu.


Tanda-tanda sakinah,  mawaddah dan wa rahmah bagi kedua memlelai bisalah disebut seperti ekspresi dari paparan kisah ini. Senang dan gembira dalam do'a yang tak terucap, karena memang tidak perlu didengar oleh siapapun, sebab do'a terbaik itu sesungguh seperti igauan kepada Tuhan. Laknya sikap kepatuhan pada sunnah Nabi  tentang pernikahan yang  dilakukan pula oleh para Nabi. Sebab niat yang baik dari suatu pernikahan, tidak untuk diperkatakan, tapi  dilaksanakan.


Pernikahan yang sejatinya itu atas dasar cinta dan kasih sayang,  artinya adalah implementasi dari sifat Tuhan yang hendak dibuktikan dalam titian sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Lalu, ketika titian itu mampu dilalui dengan riang gembira dan kebahagiaan, itu artinya tak hanya Rengas Dengklok yang bisa dilalui, tapi juga pemukiman kaum sufi yang indah pun pasti terentang dalam hidup kehidupan yang nyata.


Begitulah pernikahan ala kaum sufi yang dilakukan Ustad Bagus Mulyono. Para tamu justru dihadiahi buah melon, kripik spesial yang dapat segera digoreng hingga kue bolu serta beragam panganan lain, seperti suka cita dalam tradisi petani di kampung saya seusai panen raya karena dilimpahi berkah oleh Allah SWT Yang Rahman dan Maha Rahim. Dan saya sangat percaya, itu pun bentuk dari laku spiritual dari cara orang kampung yang mungkin masih terbatas pemahaman dan pengetahuan serta kekayaan dalam cara dari kemampuannya melakoni apa yang dimaksud dari GMRI yang dimotori Eko Sriyanto Galdendu.

(rs/*)