Sikap Arief dan Bersahaja Suku Bangsaku Baduy Dalam Laku Spiritual -->

Breaking news

Live
Loading...

Sikap Arief dan Bersahaja Suku Bangsaku Baduy Dalam Laku Spiritual

Wednesday 25 August 2021

Jacob Ereste :


Berawal dari masyarakat Baduy yang bersahaja itu,  kita pasti bisa mebemukan jalan yang lebih nyaman dan tenteram.


Banten - Sebagai bagian Penghantar untuk Masuk Dalam Siklus 7 Abad Babak Ketiga Dari Kejayaa Bangsa Nusantara. Jadi bisa berawal dari masyarakat Baduy yang bersahaja itu,  kita pasti bisa mebemukan jalan yang lebih nyaman dan tenteram. Seperti suasana hati dan perasaan para sufi atau para pelaku spiritual yang senantiasa rindu ketentraman jiwa, tak hanya menuju Baittullah, tapi bercengrama ria bersama Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.


Begitulah sikap sederhana bagi masyarakat Baduy, hanya meminta kepada masyarakat sekitarnya untuk menjaga alam dan lingkungan serta adat budaya para leluhur yang sudah dilakukan secara turun temuran dalam ketertiban dan keikhlasan hati yang damai.


Ratna Widyawati menulis (Tribun, 3 April 2020) dari Desa Kenekes, Kecamatan Keuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten tentang lima tata aturan untuk berkunjung ke desa adat Baduy, termasuk larangan memotret. 


Diantara larangan yang dipamalikan itu adakah sikap patut untuk menghormati adat masyarakat setempat, tidak menggunakan detergen dan pasta gigi agar tidak mencemari alam dan air di lingkungan masyarakat Baduy, tanpa perlu mengusik anda melakukannya di tempat tinggal sendiri.


Begitulah cara bijak Suku Bangsa Baduy menjaga dan memelihara alam lingkungan agar selalu bersih sebagai cermin dari cara menakar diri. Seperti dalam Islam misalnya untuk seorang yang hendak meninaikan sholat, sebagai upaya memagari diri dari kesucian jiwa dan raga, maka diwajibkan berwudhu dengan air bersis supaya kotoran yang bisa mendatangkan penyakit, baik yang kasat mata maupun yang cuma bisa diterawang oleh mata hati, wajib dibersihkan dan selalu dijaga.


Perilaku bersih yang perlu dijaga itu bukan cuma sekedar untuk lahir semata, tetapi juga meliputi hal-hal yang bersifat bathin. Mulai dari tidak jujur, tidak ikhlas, curang dan pembohong, apalagi dipenuhi oleh hasrat untuk mengambil atau merebut serta menguasai hak-hak orang lain,  seperti perikaku bejad pejabat di negeri ini yang tega dan rakus menilep bantuan sosial untuk rakyat banyak.


Larangan agar tidak membuang sampah dengan sembarang ini di sekitar lingkungan pemukiman warga masyarakat Baduy jelas merupakan cermin dari kesadaran spititualitas yang paling sederhana untuk memahami bahwa alam dan jagat raya dengan segenap isi serta makhluk hidup itu adalah milik Tuhan yang tidak boleh disia-siakan, apalagi dirusak. Sebab Tuhan menciptakan dan memberikan pada makhluknya di muka bumi ini supaya dapat memetik manfaat yang baik bagi dan untuk setiap orang, bukan untuk dikuasai dan dinikmati sendiri.


Laku spiritual suku bangsa Baduy serupa itu acap disebut bsnyak orang sebagai kearifan lokal genius yang perlu mendapat perhatian, minimal jika tidak bisa ikut menjaga, tapi tidak merusak. Tentu saja yang tak kalah arif dan bijaksananya adalah kemauan merendahkan hati untuk mendapat pelajaran yang baik dari tradisi warisan para leluhur suku bangsa Indonesia di nusantara ini, karena memang terbukti pernah berjaya pada masa lalu. Sehingga kejayaan  yang pernah diraih pada masa silam itu kiranya dapat dilipat-gandakan kegemilangannya pada masa ini dan masa yang akan datang yang lebih cerah dan lebih indah dari ini.


Penyair dan budayawan besar miliki bangsa Indonesia  -- WS Renda --  telah mendedahkan puisi pendeknya yang memiliki muatan nilai spiritual yang cukup dakhsyat.


....kemarin dan esok/ adalah hari ini.


Bencana dan kehidupan/ sama saja.


Langit di luar/ langit di dalam/ bersatu dalam jiwa...


Dari pemahaman dan kesadaran spiritual untuk memahami karya WS Rendra ini, realitasnya hari ini memang berasal dari hari kemarin, dan hari ini juga akan sangat menentukan hari esok. Karena itu bencana dan keberuntungan bagi manusia  sama saja. Sebab hidup ini sendiri harus dipahami ketidakjelasannya sebagai bencana yang harus dihadapi seperti keberuntungan yang patut disyukuri, karena manusia hanya bisa berdo'a dan berusaha.  Selebihnya adalah ketentuan Tuhan. Miliki Allah SWT, karena atas ke-maha-kuasa-anNya.


Kiranya begitulah, langit diluar/ langit di dalam bersatu dalam jiwa. Artinya, langit di luar yang lebih jelas sebagai ekpresi simbolik dari Keberadaan Tuhan, sedangkan langit di dalam adalah hati kita yang menjadi penakar jiwa, memang harud dipertemukan -- menyatu dengan Tuhan -- seperti yang sulit untuk dimengerti oleh banyak orang tentang Syeikh Siti Jenar serta pengertian dari makna "manunggaling kawulo lan gusti" yang dominan disalah-artikan itu.


Jadi kalau dalam laku spiritual baru berjalan menuju rumah Tuhan, itu artinya masih harus melakukan perjalanan jauh dan panjang. Dan mungkin juga jalan itu berliku serta mendaki hungga sangat melelahkan. Tapi dari pengakuan seorang sufi -- pendukung dari gerakan untuk kesadaran spiritual bangsa Indonesia yang digagas Eko Sriyanto Gslgendu dan kawan-kawan -- justru haus dan dahaga yang menggelegak itu yang membakar sekaligus menjadi energinya untuk bersapa mesra bersama Tuhan. Agaknya, seperti itu suasana bathin dari suku bangsa saya Baduy yang merasa nyaman mencumbui alam dan kehidupannya sebagai bagian dari anugrah Yang Maha Kuasa. Jadi seperti penghias UUD 1945 dan Pancasila itu sekarang. Karena lambang garuda dan jiwa Pancasila yang tersemat di dada jadi lebih terkesan sekedar asesoris belaka itu sekarang. (rs/*)