Kisah horor Leuweung Emplak disebut Wana Burka -->

Breaking news

Live
Loading...

Kisah horor Leuweung Emplak disebut Wana Burka

Saturday 6 November 2021

Keangkeran hutan Emplak mulai terkikis perlahan setelah kolonial Belanda membuat jalur kereta api di kawasan itu, dok. istimewa (6/11).


Pangandaran - Kisah horor atau mistis menjadi salah satu daya tarik tempat wisata. Bagaimana dengan kisah mistis Leuweung Emplak kabupaten Pangandaran? Berikut ulasannya.


Bagi wisatawan yang berkunjung ke objek wisata pantai Pangandaran tentu sudah tak asing dengan kawasan hutan dengan jalan berkelok. Kawasan yang dikenal dengan sebutan leuweung atau hutan Emplak ini terletak beberapa kilometer sebelum kita tiba di pantai Pangandaran. Dapat dikatakan jika sudah melewati kawasan leuweung Emplak ini maka sebentar lagi sampai di pantai Pangandaran.


Kawasan leuweung Emplak ini berada di dua wilayah desa, yaitu Desa Emplak dan Desa Putrapinggan. Meski demikian, masyarakat lebih suka menyebut seluruh kawasan hutan dengan jalan berkelok itu dengan sebutan Emplak, jarang yang menyebut leuweung Putrapinggan.


Dari sisi lalu lintas, kawasan Emplak ini bisa disebut jalur tengkorak. Karena jalannya berbelok dan jurang curam, di kawasan ini sering terjadi kecelakaan lalu lintas. Pengguna jalan mutlak harus ekstra hati-hati saat melintasi kawasan ini.


Leuweung Emplak sendiri ternyata menyimpan sejarah atau cerita di kalangan masyarakat Pangandaran. Kawasan hutan ini dulu dikenal sangat angker, bahkan dulu jarang sekali warga yang berani melewati kawasan itu di malam hari.


"Hutan Emplak dulu disebut sebagai Wana Burka. Wana berarti hutan dan burka berarti seram. Saking angkernya, orang tua dulu menggambarkan burung yang terbang di atas hutan itu pun akan jatuh," kata Didin "Jentreng" salah seorang budayawan dan seniman Pangandaran, Jumat (5/11).


Kisah keangkeran hutan Emplak, menurut Didin berkaitan dengan hikayat Eyang Panji Bener. Sosok sakti yang dapat dikatakan sebagai kuncen atau tokoh di kawasan itu. Kisah hutan Emplak juga tidak terlepas dari wilayah tetangganya yaitu Desa Bagolo.


"Patilasan Eyang Panji Bener itu berada di Desa Bagolo. Jadi Desa Bagolo tempat pemukiman sementara Emplak hutannya. Hikayat di Emplak juga tidak terlepas dari sosok Kala Samudera, seorang bajak laut yang dikenal kejam," kata Didin.


Keangkeran hutan Emplak mulai terkikis perlahan setelah kolonial Belanda membuat jalur kereta api di kawasan itu. Kawasan perbukitan yang semula dianggap kawasan larangan, dirambah oleh proyek pembuatan jalur kereta.


"Bukit dilubangi, dibuat terowongan kereta. Banyak sekali warga pribumi yang harus kerja paksa dan menjadi korban dalam proyek ambisius Belanda itu," kata Didin.


Didin menyebut pembuatan jalur kereta api Banjar-Cijulang proyek ambisius Belanda, karena Belanda rela mengeluarkan anggaran besar dan waktu bertahun-tahun untuk membuat jembatan dan terowongan kereta api.


"Berdasarkan kisah orangtua dulu, jumlah korban pribumi akibat kerja paksa proyek itu cukup banyak. Entah itu terkena ledakan saat melubangi bukit atau terkena wabah penyakit," kata Didin.


Namun demikian terlepas dari kisah angker dan mitosnya, leuweung Emplak saat ini menjadi kawasan hutan yang cukup lestari ekosistemnya. Kawasan itu menjadi habitat flora dan fauna. Keberadaan babi hutan, kera ekor panjang, ayam hutan, kucing hutan menjadi pertanda Emplak adalah habitat hutan yang bersahabat bagi satwa liar.


Selain itu vegetasi berupa pepohonan besar juga menjadi aset lingkungan yang sangat berharga, setidaknya menjadi penyembur oksigen bagi lingkungan sekitar.


Di beberapa titik, warga juga mendirikan warung untuk melayani pengendara yang ingin rehat dan menikmati kesegaran kawasan perbukitan di dataran rendah ini.


"Biarlah mitos dan keangkeran Emplak menjadi kisah, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa melestarikan kawasan itu tetap menjadi perbukitan yang rimbun dan menjadi habitat bagi binatang dan tumbuhan. Jangan dirusak," kata Didin. (rs/ana)