Hanya PN yang bisa lakukan penarikan kendaraan kredit macet, Polisi? -->

Breaking news

Live
Loading...

Hanya PN yang bisa lakukan penarikan kendaraan kredit macet, Polisi?

Friday 25 February 2022

dok.istimewa/ MK: leasing tidak bisa melalukan eksekusi sendiri dengan bantuan kepolisian, (25/2).


Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan hanya pengadilan negeri (PN) yang bisa melakukan penegakan UU Fidusia berupa penarikan kendaraan yang kreditnya macet. Hal itu apabila terjadi wanprestasi pembayaran.


Hal itu diputuskan MK dalam menafsirkan Penjelasan Pasal 30 UU Fidusia yang berbunyi:


Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.


"Pihak yang berwenang sepanjang dimaknai Pengadilan Negeri," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (23/2/2022).


MK menegaskan, dengan demikian, leasing tidak bisa melalukan eksekusi sendiri dengan bantuan kepolisian.


"Pihak kreditur tidak bisa melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian menangani apabila cedera janji (wanprestasi)," tegas hakim MK Aswanto.


Kasus bermula saat pasangan suami-istri dari Jakarta Utara (Jakut), Johanes Halim dan Syilfani Lovatta Halim, dipolisikan oleh leasing karena keberatan terhadap tagihan leasing atas kredit mobil Toyota Voxy hingga ditahan. Padahal, sesuai dengan putusan MK, kasus ini seharusnya diselesaikan lewat jalur perdata.


"Ini ada nasabah yang menggugat UU Fidusia dan KUHP di Mahkamah Konstitusi karena leasing mau menarik secara sepihak objek jaminan fidusia berupa mobil Voxy, sedangkan belum ada kesepakatan cedera janji antara debitur dan kreditur. Padahal pada putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama belum ada kesepakatan tentang adanya cedera janji antara debitur dan kreditur, maka tidak boleh dilakukan penarikan secara sepihak," kata kuasa hukum Johanes-Syilfani, Eliadi Hulu.


Dalam berkas permohonan yang dikirimkan ke MK, pasutri itu mengisahkan kredit Voxy disetujui leasing pada 2019. Memasuki 2020, perekonomian pasutri itu terdampak pandemi COVID-19 sehingga kesulitan membayar cicilan.


Pasutri itu kemudian mengajukan relaksasi dan disetujui leasing pada 18 September 2020. Permohonan ini dikabulkan dengan kredit dibantarkan dan akan kembali dicicil pada Mei 2021. Namun karena kondisi ekonomi masih terdampak pandemi COVID, Johannes-Syilfani kembali mengajukan penangguhan kredit. Sebab, berdasarkan PJOK Khusus yang mengatur relaksasi restrukturisasi, kredit diperpanjang hingga Maret 2023.


Namun permohonan itu ditolak leasing. Malah, Johannes-Syilfani dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 36 UU Fidusia pada Juni 2021. Pasal itu berbunyi:


Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).


"Pada 1 November 2021, Johannes Halim ditangkap dan ditahan oleh Polda Metro Jaya karena dugaan tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP dan Pasal 36 UU Fidusia," demikian cerita keduanya di berkas permohonan.


Atas apa yang dialaminya, Johannes dan Syilfani meminta keadilan ke MK. Mereka mengajukan judicial review Pasal 30 UU Fidusia yang berbunyi:


Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.


Johannes dan Syilfani meminta pasal 30 di atas diubah menjadi:


Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek fidusia.


Johannes dan Syilfani juga meminta penjelasan pasal 30 di atas diubah, dari:


Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.


Menjadi:


Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek fidusia.


Demikian juga Pasal 372 KUHP, yang berbunyi:


Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara se-lama2nya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.


Diubah menjadi:


Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara se-lama2nya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek fidusia.


"Dengan eksisnya Pasal 30 dan Penjelasan Pasal 30 UU Fidusia apa adanya (original intent) tersebut, mengakibatkan terlanggar hak-hak konstitusional para pemohon, yaitu dalam mempertahankan objek jaminan fidusia secara contituendem menjadi hak milik pemberi fidusia atau debitur sebagaimana Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 dan sesuai dengan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019," papar Eliadi Hulu.


Amar Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang dimaksud berbunyi:


1. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia Sepanjang frasa 'kekuatan eksekutorial' dan frasa 'sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap' bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap'.


2. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia sepanjang frasa 'cedera janji' bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa 'adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji'.


Dengan putusan itu, maka leasing:


1. Bila debitur sukarela menyerahkan barangnya, maka leasing bisa langsung menyitanya.


2. Bila debitur melawan/tidak sukarela menyerahkan barangnya, maka leasing tidak bisa langsung menyita paksa. Langkah yang diambil leasing harus menggugat ke Pengadilan Negeri.


"Dalam Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan seseorang tidak boleh dipidana atas dasar utang piutang," pungkas Eliadi. (dw/*)