limbah dibuang ke sungai menuju kepemukiman |
lahan pertanian rata |
gunung dipangkas tanpa reboisasi |
Bogor, Media Investigasi
Demo
Tuntut Hentikan
Galian Galena
Sejak dimulainya eksploitasi pertambangan, di akhir tahun 1997 masyarakat menolak pertambangan di Desa Cintamanik dan Desa Agrapura
Kecamatan Cigudeg. Berkali-kali massa demo mendatangi PT. Bintang Cindai
Mineral di Kampung Cirangsad, Desa Banjuwangi,
Cigudeg, Kabupaten Bogor, agar dihentikan aktivitas penggalian.
Lahan pertanian,
sawah dan kebun masyarakat di lembah dan lereng gunung sudah menjadi rata
diuruk demi kepentingan perusahaan tambang. Tak sampai disitu saja, menurut Uus
Mantan Ketua RW 005, dipecat dari Kepala Desa Cintamanik, hanya gara-gara
berpihak kepada warga yang didzoliminya itu. “Pak desa itu memang “kaki
tangannya” perusahaan tambang selama ini, beberapa kali turun mengingatkan
warga yang lantang menyuarakan ketidaksukaannya pada perusahaan,” jelasnya
dengan serius, sambil memberikan sinyal ada beberapa tokoh masyarakat lain yang
berpengaruh, di belakang perusahaan tambang.
Untuk itu, beberapa
elemen masyarakat setempat, lewat Media Investigasi agar perusahaan tambang
galena itu keluar dari lahan garapan mereka, tempat ia menggantungkan
hidupnya selama ini. Sekaligus menganjurkan memperbaiki kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan, akibat dari pembuangan limbah, dan eksploitasi
alam secara berlebihan dengan menggunakan bahan peledak besar-besaran, serta penebangan
pohon.
Jaenuddin,
warga setempat mempertanyakan keberadaan PT. Bintang Cindai Mineral, yang
seolah-olah tidak peduli pada penghidupan warga sekitar. Dimana AMDAL tidak
layak, perampasan lahan pertanian warga, terusiknya hewan penghuni hutan dari
habitatnya, seperti burung dan kera serta binatang lainnya. Pokoknya habitat
alam semua terusik, katanya.
Lanjutnya, masyarakat
Cigudeg sudah jenuh dan kesal melihat kerusakan lingkungan di Gunung Cirangsad,
dan akan memobilisasi warga untuk mendemo perusahaan yang melakukan pengrusakan
lingkungan tanpa melihat lingkungan yang ditimbulkan.
Seringkali urung rembuk dimediasi oleh tokoh masyarakat
bahkan aparat, tapi tidak menemukan kata sepakat. Kepolisian Sektor Cigudeg ketika itu, mengungkapkan, warga dari dua desa merasa perusahaan itu menggali galena di lahan garapannya, yang mereka kuasai sejak tahun 1964. Sedangkan pihak perusahaan merasa menggali dan mematok lahan, sesuai lahan pertambangan yang jadi haknya. PT
Bintang Cindai Mineral mendapat lahan konsesi pertambangan dari
PT Perhutani berdasarkan hak pinjam pakai lahan.
Aksi pengrusakan lingkungan secara gencar dan
brutal oleh perusahaan pengelola penambangan timah hitam
(galena) dan biji emas ini, terus dikecam masyarakat di daerah yang dipimpin oleh mantan Bupati RachmatYasin, yang kini jadi tersangka di KPK,
dengan kasus lahan hutan.
Namun
perusahaan korporasi itu, tidak bergeming bahkan kian memperluas lokasi
garapannya.
Bahkan limbah
pembuangannya semakin menjadi-jadi, nyata-nyata telah mencemari Sungai Rengganis terus berlangsung—tak henti, padahal masyarakat 3 desa yang berada di bawah Kaki Gunung Cirangsad memanfaatkan airnya
untuk minum, mandi dan mencuci. Menurut penduduk setempat, terkadang airnya keruh, juga biasa butek warna
hitam, serta berbau menyengat di hidung.
Halnya Waldi
ahli geologi yang setiap saat mencermati perkembangan, akibat yang ditimbulkan
perusahaan tambang ini. |Menurutnya, menggunduli hutan terus menerus, dan
pemakaian bahan peledak, bukan tidak mungkin di musim hujan akan mendatangkan
banjir bandang, seperti diberberapa daerah yang pernah terjadi.
Soalnya karena
strurktur tanah sudah labil katanya, selain penggunaan bahan peledak secara
berlebihan, juga pemakaian eskavator di atas gunung terus menggerus tanah dan
merobohkan pohon-pohon tanpa ada perhitungan. Ketidak
keseimbangan alam dapat merusak segalanya. “Pengurukan lembah yang semula tanah
sawah dan kebun milik masyarakat, dijadikan tempat pembuangan limbah beracun
dari sisa pengolahan bahan galena, artinya pengotoran air tanah,” sidik Waldi
yang sangat kuatir dengan lingkungan Cigudeg belakangan ini.
Sementara
pemerhati lingkungan hidup menilai Pemkab Bogor dan DPRD tidak menyikapi
pengrusakan lingkungan. Kuat dugaan,
perusahaan tambang dapat beroperasi berkat restu oknum pejabat Pemkab, aparat penegakan hukum dan politisi di
DPRD Kab Bogor.
Dari pantauan Media Investigasi, pencemaran dan pengrusakan lingkungan di Gunung Cirangsad secara serampangan, melewati ambang batas, ini membuktikan bahwa dinas terkait, seperti Dinas Energi, Sumber Daya dan Mineral (DESDM), Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH), dan Inspektorat Daerah, tidak maksimal, serta dapat dipertanyakan kinerjanya.
Dari pantauan Media Investigasi, pencemaran dan pengrusakan lingkungan di Gunung Cirangsad secara serampangan, melewati ambang batas, ini membuktikan bahwa dinas terkait, seperti Dinas Energi, Sumber Daya dan Mineral (DESDM), Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH), dan Inspektorat Daerah, tidak maksimal, serta dapat dipertanyakan kinerjanya.
Sedangkan Amin
Arsyad Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor di JL. Tegar
Beriman ketika mau dikonfirmasi tidak ada ditempat, begitupula dengan Lili
Muniri Kasubsi Pengukuran/Pemetaan menemukan ruangannya kosong. Selain itu, tidak
ada yang bisa memberikan keterangan tentang kepemilikan lahan, yang diklaim
sepihak oleh perusahaan tambang. “Maklum menterinya mau datang besok,” kata
penjaga pintu pegawai teras tadi.
Sebelumnya, beberapa
kali DPRD berjanji ke masyarakat akan meminta keterangan dari para pengusaha galian di gunung Cirangsad, namun warga tidak serta merta meyakininya, dikarenakan adanya oknum anggota DPRD yang ditengarai ikut terlibat dalam aktivitas eksploitasi tambang galena di Cigudeg.
Perusahaan galian tambang yang dikuasai oleh pengusaha
Asing bekerjasama dengan pengusaha lokal dan oknum pejabat daerah ini, adalah perusahaan korporasi. Dimana PT.
Bintang Cindai Mineral Group yang menggarap lahan seluas 102 hektare, PT. Indoloma 95 hektare dan
PT. Lumbung 100 hektare. Ketiga perusahaan ini telah membabat tanah pertanian dan hutan yang ada di Gunung Cirangsad. Sumber mineral yang dikeruk oleh perusahaan tersebut cukup banyak. Masing-masing perusahaan tersebut dalam sehari bisa mengangkut lebih dari
10 ton galena.
Rekontruksi Ulang
Rekomendasi DPRD Kabupaten
Bogor ke Perhutani, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan serta Badan Pertahanan Nasional
(BPN) untuk melakukan rekontruksi ulang antara batas milik warga Desa Cintamanik dan
Banyu Wangi dengan lahan PT. Bintang Cindai Mineral Grup (BCMG), tak kunjung terealisasi.
Kenyataannya dilapangan,
lahan yang dikuasai perusahaan selalu memperluas areal
lokasi tambangnya. Bahkan tak segan-segan, lahan warga yang nyata-nyata sudah dikuasai oleh
masyarakat tahun
1964, dan ditanami tanaman produksi, seperti Pohon Petai, Pohon Meninjau, serta tanaman keras lainnya,
terus dibabatnya.
Kata Pijai, pemilik
kebun yang digusur pakai buldoser, karena diklaim hak penguasaan PT Bintang
Cindai Mineral. Katanya Pijai, bagaimana bisa diakui oleh lahan Perhutani yang dikuasakan pada Perusahaan,
nyatanya tidak ada bukti konkrit, baik surat maupun tanaman di areal lokasi
pertambangan. Sementara pihak masyarakat di sini bercocok tanam memiliki bukti
surat kepemilikan. “ Dilahan kebun saya, ada Pohon Petai, Pohon Meninjau dan Pinang,
dan tanaman produksi lainnya. Yang setiap hari
diambil hasilnya,” paparnya panjang lebar sambil memperlihatkan surat keterangan
sebagai pengelola yang syah sejak 1964, sekaligus bukti pembayaran pajaknya.
Diakui Pijai, aksi
penggusuran yang dilakukan perusahaan tambang, biasanya dilakukan pada hari
Jumat, ketika petani dan petambang rakyat ramai-ramai pulang Shalat Jumat di
kampung. Pada saat itupula, gubuk pemilik tambang rakyat dibakar-bakarin tanpa
basa-basi. Ketika diprotes pemiliknya, baru akan diganti rugi yang ditentukan
perusahaan. “Gubuk dan kebun biasanya diberikan pengganti Rp 50.000,-(lima
puluh ribu rupiah),” ungkapnya dengan menolak pemberian kompensasi itu.
Namun entah bagaimana, petani dan petambang rakyat masih jadi bulan-bulanan
dari perusahaan tambang, bahkan dibantu oleh oknum
kepolisian dari Brimob Gedung Halang Bogor berinisial “Y” dan “K” dengan aktif mengintimidasi
warga petani dan petambang rakyat di lokasi. Menurut Ahmad, yang ikut menambang
di lokasi, pernah sekali ditodongkan senjata, supaya menghentikan aktivitas
tambangnya. Namun menurut Ahmad, tidak dipedulikan ancaman itu, karena hanya satu-satunya
tempat untuk mencari biaya kebutuhan hidup sehari-hari.
“Saya memang pernah diancam pakai senjata laras panjang di lokasi tambang,
dengan menodongkan di atas kepala, tapi kemudian Pak Yudo ketika itu dengan memakai bahasa
isyarat saya disuruh lari, karena pemilik perusahaan tambang ada di dekatnya,”
ungkapnya dengan mimik yang sangat sedih, dibalai rumah kebun di belakang rumahnya, ditemani teman-teman seperjuangannya.
Lanjut Ahmad, tak lama berselang ketika itu, ia didatangi sang oknum tadi,
guna menawarkan sejumlah uang, sebagai kompensasi untuk pergi dan tidak menambang lagi di
lokasi. Kata Ahmad, ia menolak dengan halus penawaran itu. Tak sampai di situ
saja katanya, bahkan pernah pemilik perusahaan “bermata sipit” itu langsung
mengancam di lokasi dengan memegang sebatang kayu dari belakang.
Hingga 26 Oktober 2014 kemarin, Pijai pemilik kebun di atas Gunung Cirangsad,
bersedih dan pasrah, lahannya yang ditempati bercocok tanam, diserobot dengan
menggunakan alat berat eskavator dan buldoser, hingga rata dengan tanah,
pohon-pohonnya yang ada dikebun, tidak lagi bisa diambil isinya.
Tak heran memang, jika tambang-tambang rakyat di lokasi banyak ditutup
karena aksi premanisme dari “jawara” dan sang oknum, padahal sebelum adanya
perusahaan tambang, masyarakat masih damai-damai saja tuh, katanya.
Saat dikonfirmasi handphonenya lewat telepon gengam milik Ahmad oknum berinisial “K”, katanya memberikan perhatian bagi masyarakat untuk bersama-sama menambang,
tapi agar tetap mencari tempat-tempat yang aman. Karena menurutnya, sang oknum
tadi juga mencari posisi aman pada sang big
bos perusahaan tambang. “Kita sama-sama cari makan, makanya tetap menambang
saja tapi cari-cari waktu dan tempat yang tepat, biar tidak ketahuan,” jelasnya
sangat berhati-hati memberi informasi.
Lain halnya dengan Wawan yang ahli memasang bahan peledak. Sebelumnya ia
bekerja di PT. Aneka Tambang di Pongkor Bogor dengan gaji Rp 7.500.000,- (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah), namun entah kenapa, ia diiming-imingi gaji lebih
besar dan pindah di PT. Bintang Cindai Mineral, dengan begitu yakin ia menerima
tawaran itu, katanya.
Namun yang terjadi sebaliknya, gajinya lebih rendah, kurang dari lima juta
rupiah. Sang bos yang dipercayakan
dilapangan bernama Yudi mengajaknya, ternyata tidak sesuai yang dijanjikan.
“Saya musti bilang apa lagi, saya sudah keluar di PT. Antam. Untung adik saya
tidak ikut-ikutan keluar bersama,”
ujarnya jujur.
Diduga Miliki Tenaga Kerja Asing
Ilegal
PT. Bintang Cindai Mineral, selain mempekerjakan tenaga kerja dalam negeri,
juga ada tenaga asing, yang katanya si
empunya cerita berlagu sok berkuasa. Tidak ada enaknya bekerja, sama orang
asing yang selalu saja ditekan-tekan sama pekerja lain, katanya.
Menurut beberapa pekerja di lokasi, selain Yudi diberikan kepercayaan di lapangan, juga ada kurang
lebih 20 tenaga asing di lokasi, siap memberi komando ke setiap pekerja. Bahkan menurut Ahmad pemilik
tambang rakyat, hingga beberapa kali ia digertak sama tenaga kerja asing itu.
Menurut beberapa pemilik tambang rakyat, tenaga kerja asing pernah
dikejar-kejar sama Buser Polda Jawa Barat akhir Oktober 2014 di lokasi tambang,
namun tidak satupun yang berhasil ditangkap, karena berhamburan lari ke gubuk
tambang rakyat bersembunyi. Mereka diduga masuk ke Indonesia, dengan memakai
visa kunjungan.
Menurut informasi
orang dalam PT. Bintang Cindai Mineral, Buser Kepolisian Jawa Barat sempat
ditawari uang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) tapi ditolaknya. “Kayaknya sih
ada janjian untuk ketemuan pada hari Rabu di suatu tempat,” ungkapnya sambil
meyakinkan.
Undang-Undang Pertambangan Rakyat
Menurut
Pasal 1 ayat 32 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah bagian dari Wilayah Pertambangan
dimana kegiatan usaha pertambangan rakyat dilakukan. WPR ditetapkan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota.
Izin Pertambangan Rakyat diberikan bupati/walikota berdasarkan
permohonan penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat atau
koperasi. Pasal 48 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Pertambangan rakyat di Indonesia telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah besar bangsa ini. Dan menjadi satu bentuk usaha yang sangat tua,
dikelola secara mandiri dengan alat-alat sederhana dan diselenggarakan oleh
komunitas-komunitas masyarakat mandiri dan telah berkembang jauh sebelum
republik ini ada.
Karena mata pencaharian
dan interaksi dengan pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus, melahirkan
budaya pertambangan, meskipun pada saat ini dinamai dengan penambangan
tradisional, penambang rakyat atau bahkan penambang tanpa ijin (PETI).
Perkembangannya PETI,
adanya penyandang dana dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta
operasi dengan modus operandi memperalat kalangan masyarakat, kemudian menjadi korban pembangunan, karena keterlibatan masyarakat pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata
menjadi kekuatan yang dahsyat. Dapat merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara
dari sektor perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan, melecehkan hukum. Kemudian kecelakaan tambang, iklim usaha yang tidak kondusif,
praktek percukongan, premanisme dan prostitusi .
UU No.
11 tahun 1967, pertambangan rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan a, b dan c seperti yang dilakukan oleh rakyat
setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat
sederhana untuk pencaharian sendiri. Pertambangan
Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam
mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan
dengan bimbingan Pemerintah. Pertambangan
Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan
(izin) Pertambangan Rakyat. Andi Syahruddin