Kepala Sekolah & Guru Masuk Lingkaran Politik Praktis

Widget notif

Breaking news

Live
Loading...

Kepala Sekolah & Guru Masuk Lingkaran Politik Praktis

Saturday, 30 May 2015


 


 
Kepala Sekolah & Guru Masuk Lingkaran Politik Praktis

Oleh

Muhammad Arab, SPd

(Wakil Ketua Lembaga Konsultan & Bantuan Hukum PGRI Kota Makassar)

 

 

Profesi guru adalah kegiatan yang dilakukan dengan keterampilan,  yang memenuhi standard etika  oleh PNS dengan tugas utamanya mengajar, mendidik, dan membimbing pada pendidikan dasar dan menengah  dengan memperhatikan kepentingannya sebagai manusia. Dedikasinya memperhatikan kepentingan masyarakat, kesinambungan kemanusiaan dan kebudayaan serta kepentingan bangsa dan Negara.

Guru di sini adalah pendidik profesional dengan tugas  utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal,  yaitu pendidikan dasar  dan pendidikan menengah (Pasal (1) butir (1) PP No.74/2008 tentang Guru).

Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 pasal satu (1),  Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, menbimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah. Tentu akan jelas di sini, bahwa dosen bukanlah guru, karena tidak mengajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dan guru bukan dosen, karena tidak dikukuhkan dengan SK untuk mengajar di perguruan tinggi. Konsekuensinya, menggugurkan hak dosen  untuk menjadi pengurus organisasi profesi guru. Kedudukan Undang-Undang lebih tinggi daripada Kepres yang mengesahkan Anggaran Dasar PGRI. Jelas di sini, dosen yang tidak memiliki sertifikat sebagai tenaga pendidik (guru), maka pantaslah jika tidak menjadi anggota atau pengurus PGRI.

Dasar pijakan mereka yang antusias jadi pengurus, adalah guru dan dosen sama-sama pengajar dan pendidik yang lebih formal disebut sebagai tenaga pendidik. Bahkan dengan alasan itu juga, hingga sekarang keduanya berhimpun  dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pejabat pun dari Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota dan Provinsi tidak tinggal diam, untuk merebut kursi kepengurusan PGRI, hanya kepentingan karena perpanjangan tangan pejabat poloitik daerah. Bukanlah perbaikan nasib guru, selama ini ditunggu oleh pahlawan tanda jasa itu. Namun tekanan serta intimidasi silih berganti dari sang pejabat. Ancaman yang paling klise, diantaranya isu mutasi.

Dalam perjalanan sejarahnya, guru tak banyak berbuat dalam organisasi profesi  itu, karena dosenlah yang mendominasi  kepengurusan PGRI, selain pejabat, sehingga nasib guru sangat terabaikan dalam perjuangan PGRI selama 68 tahun yang lalu, bahkan selalu dalam tudingan tidak berkualitas, padahal dalam jenjang tugasnya dan kewajiban yang harus diembannya setiap hari, guru sudah berhasil dan mampu menjalankan tugasnya 3 kali beban tugas yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga isu guru tidak bermutu, lebih bernuansa politis, ketimbang sebuah kebenaran, apalagi bukan hasil penelitian. Buktinya semua lulusan SD paling tidak 99,9% dapat membaca, menulis, dan berhitung. Memang tidak bisa dibandingkan dengan lulusan universitas, karena mengajar membutuhkan psikologi perkembangan.

 Untuk itu, sangat relevan dengan apa yang dikatakan Oemi Abdurahman dalam bukunya Dasar-Dasar public Relation, bahwa profesi adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan seni atau pelayanan yang terampil, melibatkan ilmu pengatahuan dengan menuruti standard etika. Sedangkan pengertian guru adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan dengan  hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan. Tugas utama mengajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk taman kanak-kanak, atau membimbing peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.

Sedangkan organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalisme guru (pasal (1) butir (6) PP No. 74/2008 tentang guru).

Karena itulah, masuknya pejabat, pensiunan (rakyat jelata), dosen, dan tenaga kependidikan lainnya dalam organisasi profesi guru adalah illegal dan melawan hukum. Karena melecehkan warga  Negara Indonesia yang berprofesi sebagai guru yang sah, yaitu guru yang memiliki sertifikat pendidik  yang disahkan oleh universitas sebagai pemegang otoritas sertifikasi guru. Guru kini sangat tertekan dan stress karena keberadaan pengurus PGRI yang ilegal itu, karena merasa dilecehkan selama 30 tahun ORBA sampai 17 tahun reformasi, juga belum ada perubahan yang berarti, bahkan ironisnya, organisasi PGRI terseret-seret ke dalam politik praktis. Secara kasat mata, mobilisasi kepala sekolah dan guru-guru, untuk menggerakkan massa ketempat lokasi kampanye, baik di dalam kota maupun ke luar daerah (tempat kelahirannya sang guru), membuatnya tak berdaya.  

Maka tak hayal, ketika isu mutasi yang dihembuskan, sang pejabat mulai getar-getir mencari “wangsit”  atau jaminan tidak akan digeser  sang big bos, tak terkecuali cara haram atau halal yang dilakukannya-hanya satu dipikirkan yaitu mempertahankan kelanggengan jabatannya. Sudah menjadi rahasia umum, untuk jabatan tertentu akan dikenakan tarif tertentu pula.”.