Kapolri Perintahkan jajarannya Selektif menerapkan pasal dalam UU ITE -->

Breaking news

Live
Loading...

Kapolri Perintahkan jajarannya Selektif menerapkan pasal dalam UU ITE

Tuesday 16 February 2021




Penggunaan pasal-pasal yang dianggap pasal karet di dalam UU ITE yang ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk melaporkan atau saling lapor atau lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan.


Jakarta - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kerap dipakai untuk mengkriminalisasi pihak lain.

"Dalam rangka untuk menjaga agar penggunaan pasal-pasal yang dianggap pasal karet di dalam UU ITE yang ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk melaporkan atau saling lapor atau lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan dengan UU ITE ini, bisa ditekan dan dikendalikan," kata Listyo dalam konferensi pers usai usai Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes Polri, Jakarta, Senin (15/2).

Karena itu, dia memerintahkan jajarannya untuk lebih selektif menerapkan pasal dalam UU ITE tersebut dalam proses penegakan hukum. Ia menjanjikan, polisi bakal lebih mengedepankan langkah edukasi dan persuasi.

Bahkan, Listyo menyoroti kemungkinan polisi dapat lebih mengupayakan langkah-langkah yang bersifat restorative justice (keadilan restoratif).

"Sehingga penggunaan ruang siber tetap bisa kita jaga dengan baik," ucap dia lagi, dilansir CNN Indonesia (16/2).

Restorative justice atau upaya keadilan restoratif yang disebut Listyo, merupakan sebuah pendekatan yang bertujuan mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa. Proses ini kadang juga melibatkan perwakilan masyarakat.

Konsep pendekatan restorative justice menitikberatkan pada keadilan bagi pelaku tindak pidana dan korban.

Presiden Jokowi juga membuka peluang merevisi UU ITE jika itu dirasa tak memberi rasa keadilan.  

Pembahasan mengenai penggunaan UU ITE beberapa waktu belakangan jadi sorotan publik dan diskusi di media sosial. Ini bermula dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menginginkan publik lebih banyak mengkritik pemerintah untuk perbaikan kinerja pelayanan publik.

Sejumlah pihak, seperti pegiat kebebasan berpendapat hingga LSM yang fokus menyuarakan hak asasi manusia, menganggap keinginan pemerintah itu bertolak belakang dengan fakta di lapangan.

Sebagian berpendapat kritik atau masukan ke pemerintah beberapa justru dibalas dengan jerat hukum menggunakan pasal dalam UU ITE.

Pernyataan Jokowi disampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin (8/2). Jokowi, dalam konteks ucapannya itu, mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi memperbaiki pelayanan publik salah satunya melalui kritik dan masukan.

Permintaan Presiden Jokowi belakangan mengundang respons Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden ke-12 RI Jusuf Kalla.

JK menyoroti survei The Econkmist Intelligence Unit (EIU), yang menyebut indeks demokrasi Indonesia yang menurun. Dalam survei itu, Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara di dunia.

"Beberapa hari lalu Bapak Presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?" kata JK dalam agenda 'Mimbar Demokrasi Kebangsaan' yang digelar PKS, Jumat (12/2).
(*/rd)