Duit dana hibah Ponpes sebesar Rp70 miliar jadi Bacakan di Tanah Jawara -->

Breaking news

Live
Loading...

Duit dana hibah Ponpes sebesar Rp70 miliar jadi Bacakan di Tanah Jawara

Thursday 9 September 2021

Dok. ilustrasi (ist)


Korupsi yang melibatkan lingkungan pesantren ini sempat membuat geger tanah jawara yang sering disebut-sebut daerah agamis religius. 


Serang - Hibah untuk pondok pesantren dari Pemprov Banten yang nilainya ratusan miliar jadi bancakan oknum pimpinan ponpes hingga tidak ada pertanggungjawabannya oleh Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) sebagai penerima dan penyalur. Kerugiannya negara bahkan mencapai Rp 70,7 miliar dari hibah tahun 2018 Rp 66 miliar dan 2020 Rp 117 miliar.


Korupsi yang melibatkan lingkungan pesantren ini sempat membuat geger tanah jawara yang sering disebut-sebut daerah agamis religius. Ada lima orang jadi terdakwa di meja hijau yaitu Irvan Santoso eks Kabiro Kesra Pemprov Banten, Toton Suriawinata Kabag Sosial dan Agama di Biro Kesra, Epieh Saepudin pimpinan pondok pesantren di Pandeglang, Tb Asep Subhi pimpinan Ponpes Darul Hikam Pandeglang, dan Agus Gunawan selaku honorer di Biro Kesra.


Di dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdakwa Irvan dan Toton rupanya tidak melakukan tahapan evaluasi, verifikasi, persyaratan administrasi, survei hingga kelayakan besaran uang hibah Pemprov Banten pada 2018. Terdakwa juga dinilai tidak cermat terhadap pengajuan pencairan dana hibah sehingga penerima tidak sesuai dengan kriteria dan persyaratan yang telah ditentukan.


"Dokumen proposal pengajuan hibah, naskah perjanjian hibah daerah NPHD dan pakta integritas serta dokumen proposal pencairan dan laporan pertanggung jawaban hibah dibuat dan ditandatangani oleh pihak selain pimpinan ponpes sebagaimana persyaratan dalam pencairan dana bantuan hibah ponpes," kata JPU M Yusuf Putra di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (8/9).


Hibah 2018 yang nilainya Rp 66 miliar lebih juga tidak memiliki pertanggungjawaban laporan keuangannya oleh FSPP. Ormas ini adalah penerima hibah sekaligus penyalur yang diamanatkan oleh Pemprov Banten.


Dikatakan JPU, terdakwa Irvan dan Ketua FSPP KH Matin Djawahir menandatangani NPHD atau naskah perjanjian hibah daerah pada Mei 2018. Sekjen FSPP bernama Ali Mustofa kemudian mengajukan proposal pencairan kepada gubernur Banten di mana hibahnya digunakan untuk operasional FSPP Rp 3,8 miliar dan 62 Miliar untuk dibagikan ke 3.122 pesantren.


Pencairan itu pun oleh terdakwa Toton rupanya tidak diteliti dengan cermat dan malah menyetujui nilainya sebagaimana usulan FSPP. Padahal, seharusnya FSPP tidak dapat diberikan rekomendasi hibah. Organisasi ini pun katanya adalah ormas dan bukan pondok pesantren yang berhak menerima hibah.


"Penggunaan dana hibah berupa uang ke rekening FSPP 3,8 miliar dalam pelaksanaannya tidak sesuai peruntukan dan tidak ada bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai perundang-undangan," kata Yusuf.


Bukan hanya itu, pemberian hibah ke pondok pesantren juga tidak ada bukti laporan pertanggungjawaban. Bukti-bukti itu misalnya bukti transfer hingga bukti penggunaan dana.


Jaksa merinci, kerugian negara akibat tidak adanya laporan pertanggungjawaban antara lain anggaran operasional FSPP, kegiatan verifikasi ponpes, kegiatan pelatihan dan pengembangan, pembiayaan program reguler FSPP, penyerahan bantuan ke ponpes itu sendiri.


Nama gubernur Banten bahkan terseret pusaran perkara ini. Meski jaksa tidak menyebut nama secara langsung, tapi hibah ponpes diberikan saat masa jabatan gubernur di bawah pimpinan Wahidin Halim. Di dakwaan itu disebutkan bahwa hibah 2018 bermula dari proposal FSPP ke Biro Kesra senilai Rp 27 miliar.


Proposal itu oleh terdakwa Irvan untuk direkomendasikan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah atau TAPD senilai Rp 6,6 miliar. Karena hibah yang direkomendasikan terdakwa dinilai kecil, FSPP lantas melakukan audiensi dengan gubernur Banten di rumah dinasnya.


"Terdakwa Irvan mengetahui adanya audiensi FSPP dan gubernur Banten dan menerima arahan untuk memenuhi permohonan FSPP dalam menyalurkan bantuan hibah kepada pondok pesantren tahun 2018," ujar JPU.


Usai pertemuan di rumah dinas, FSPP lantas kembali merevisi proposal dengan nilai Rp 71,7 miliar. Proposal itu dilakukan pembahasan antara TAPD dan Badan Anggaran DPRD dan ditetapkan dalam Perda. Akhirnya, hibah disetujui Rp 66 miliar lebih.


Rincian pencairan hibah forum pesantren itu antara lain Rp 3,8 miliar untuk operasional kesekretariatan dan sisanya Rp 61 miliar untuk dibagikan ke 3.122 pesantren.


Di hibah 2020 senilai Rp 117 miliar, hak pondok pesantren itu malah jadi bancakan oknum pimpinan ponpes. Muncul istilah 'belah semangka' antara oknum dengan pesantren penerima hibah. Ini muncul saat terdakwa Epieh menghubungi para pesantren-pesantren di Banten.


"Terdakwa menyampaikan dana hibah dapat cair asalkan bersedia 'belah semangka' dengan memberikan separuh dana hibah uang masing-masing sebesar Rp 15 juta," kata JPU.


Beberapa ponpes yang dipotong disebutkan antara lain Ponpes Darowes, Ponpes Assalik, Ponpes Raudatul Muta'alimin, Ponpes Alfalah Bumi Damai, Ponpes Roudatul Fata, Ponpes Attohiriyah, Ponpes Riyadul Wildan dan Nurul Falah.


Terdakwa Asep juga mendapat Rp 104 juta dari pesantren-pesantren di Pandeglang. Ia meminta hibah dibagi 60-40 persen.


Data pesantren penerima hibah juga rupanya bermasalah. Ada 172 pesantren tidak terdaftar di EMIS dan tidak memiliki izin operasional dari Kementerian Agama. Timbul kerugian negara Rp 5,3 miliar akibat penyaluran dana hibah di tahun 2020. (rs/ana)