Pemahaman Terhadap Sebutan Radikalisme, Kata Jokowi Jangan Berlanjut Buruk

Breaking news

Live
Loading...

Pemahaman Terhadap Sebutan Radikalisme, Kata Jokowi Jangan Berlanjut Buruk

Monday 13 September 2021

Dokumentasi ist. (Presiden RI Joko Widodo)


Banten - Senang sekali hati saya mendapat kiriman khusus tadi pagi (13/09/2021) dari Mas Jaya Suprana News tentang informasi yang sangat bermutu dan penting mengenai pernyataan dari Presiden Jokowi yang menegaskan bahwa sebaiknya istilah radikalisme jangan berlanjut untuk digunakan, sebab istilah radikal sebenarnya bermakna positif seperti dalam tindakan kesehatan maupun perjuangan para Pahlawan Bangsa Indonedia melawan penjajahan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, Pattimura, Tjut Nyak Dhien, Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Syahrir pada masa itu.


Reaksi spontan saya saat membaca kiriman yang indah itu pun langsung  dan spontan berkata sangat bagus. Lantas sata pun tergersk untuk menulis, sebagsi wujud kegembiraan hati dalam buntuk paparan berikut ini.


Setidaknya dalam persepsi saya  sudah mulai ada kesadaran dan pemahaman tentang stigma-stigma buruk pada istilah atau sebutan yang sejenis itu dalam peristilahan kita yang perlu kembali diluruskan agar tidak terus membuat cara berpikir terkilir dan selalu salah.


Sebab stigma sejenis itu -- seperti istilah buruh yang diganti dengan sebutan pekerja -- adalah eufeisme berlebih yang salah kaprah. Bagaimana tidak, istilah buruh yang diubah sebutannya hingga menjadi pekerja telah menjadi bagan tertawaan dalam pergaulan antar bangsa maupun organisasi serta di Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena mereka seperti dipaksa menyebut satu badan yang mereka miliki itu dengan sebutan International Worker Office, padahal sebutan aslinya yang pas -- baik dan benar -- adalah International Labour Office atau ILO. Tapi kalau memakai eufisme kita di Indonesia yang norak dan kampungan tadi, maka ILO pun jadi merasa diperkosa hingga terkesan jadi merasa berjenis klamin lain, jadi IWO.


Informasi dari Mas Jaya Suprana ikhwal percerahan dari pemikiran Presiden Joko Widodo ini sungguh menarik dan mempesona bagi saya, hingga tanpa merasa perlu untuk melakukan  konfirmasi ulang tentang  kebenarannya. Sebab, disamping saya sudah cukup percaya dengan reputasi pianis hebat itu, bagi saya pun bila informasi itu tidak benar, toh yang penting bagi saya sudah mendapat peluang dan kesempatan untuk memuntahkan unek-unek yang sudah sejak Orde Baru berkuasa dulu tidak pernah sampai untuk diungkapkan. 


Jadi tetelah sekian lama mengganjal ikhwal soal eufisme yang sangat mengganggu dan memiskinkan bahasa Indonesia yang sangat kaya prasa maupun presisi maknanya itu, atas informasi ini semua seperti lunas.


Sekedar untuk meyakinkan bila kekayaan bahasa Indonesia sangat luar biasa kayanya perbendaharaan katanya, coba saja terjemahkan sepengggal puisi ke dalam bahasa Inggris misalnya, maka akan cukup banyak ungkapan yang khas dalam bahasa Indonesia yang tidak mampu diartikan secara persis seperti kandungan makna asli yang ada didalamnya.


Artinya, untuk kali ini pemikiran kesadaran dalam pemahaman makna istilah seperti tersebut di atas, sungguh patut dipuji sosok srorang Joko Widodo yang juga seorang Prediden, jarena masih tetap memiliki cara berpikir yang jernih, jenial dan sehat diantara  kesibukannya, karena memang harus memikirkan hal-hal lain yang menjadi masalah bagi segenap warga bangsa Indonesia yang kompleks, apalagi masih ditambah pandemi Covid-19 dengan Varian Delta yang masih terus mengganas sampai sekarang.


Jadi penegasan Presiden Joko Widodo bahwa istilah radikalisme tidak lagi perlu digunakan dengan kenotasi yang negatif, sungguh bermakna positif guna memperbaiki persepsi buruk akibat eufisme berlebih semasa Orde Baru, hingga untuk menyatakan seseorang telah ditangkap misalnta jangan lagi dikatakan sedang diamankan.  Karena yang bersangkutan justru dalam posisi merasa tidak aman.


Yang tidak saya paham, apakah kekeliruan dari eufisme berlebih serupa ini juga menjadi bagian dari penelisikan Museum Muri Kelirumologi yang dibesut Mas Haya Suprana ?


Jika saja benar, mungkin proyek besar dari pembenahan istilah yang banyak terpiuh di Indonesia ini perlu sekalian menjadi pekerjaan yang dilakukan oleh Museum Muri yang berkutat pada soal kelirumologi tadi itu.


Wassalam dan tabik saya dari Banten, Indonesia. 

Jacob Ereste :

(rs/*)