Dana Desa menjadi madu penarik, ngantri Kades masuk Bui -->

Breaking news

Live
Loading...

Dana Desa menjadi madu penarik, ngantri Kades masuk Bui

Thursday 2 December 2021

 


Dana desa awalnya ditujukan untuk mendorong pembangunan di tingkat desa. Namun belakangan, dana itu juga menjadi madu penarik bagi sejumlah oknum untuk berkiprah di desa, dok. istimewa: KPK meresmikan Desa Antikorupsi pertama di Indonesia, di Yogyakarta,  (02/12).


Jakarta - Ketua KPK Alexander Marwata menggambarkan betapa mudahnya mengungkap tindak korupsi perangkat desa. Dalam sejumlah koordinasi dengan aparat penegak hukum di daerah, kasus yang melibatkan kepala desa kini cukup dominan. Apalagi, pengusutan kasus ini dipandang sangat mudah. Penegak hukum cukup datang ke kantor desa dan menanyakan penggunaan secara rinci penggunaan Dana Desa.


“Rata-rata yang ditangani kepala desa, menyangkut penyelewengan dana desa. Paling gampang itu, apalagi di luar Jawa. Datang saja ke desa itu, cek berapa dana desanya, mana pertanggungjawabannya, mana wujud dari pengeluaran yang sudah dilakukan di desa tersebut,” kata Marwata.


Dana desa awalnya ditujukan untuk mendorong pembangunan di tingkat desa. Namun belakangan, dana itu juga menjadi madu penarik bagi sejumlah oknum untuk berkiprah di desa. Sayangnya, tujuan mereka bukan untuk mengabdi secara baik, tetapi mengambil bagian dari dana desa itu. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Probolinggo, Jawa Timur, menjadi contoh fenomena itu.


“Ada duapuluhan calon PLT Kepala Desa. Belum kepala desa, baru calon PLT. Mereka mau dan bersedia nyetor (ke Bupati). Harapannya, nanti kalau sudah jadi, ada sesuatu yang bisa diambil,” lanjut Marwata.


Marwata bahkan mengungkap hitungan sederhana, berdasar temuan KPK selama ini. Rata-rata desa kini mengelola dana Rp1,6, miliar dengan masa jabatan enam tahun, kepala desa (Kades) akan mengelola sekitar Rp9 miliar. Jika bisa mencuri 10 persen saja dari angka itu, mereka sudah mendapatkan Rp900 juta. Tidak mengherankan, kata Marwata, banyak kepala desa mau menghabiskan dana hingga Rp500 juta ketika mencalonkan diri.


Indonesian Corruption Watch (ICW) Maret 2021 merilis data yang cukup mengangetkan terkait korupsi di tingkat desa. Sepanjang 2015-2020, lembaga ini mencatat ada 675 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa.


Pada 2020, kerugian yang muncul dari kasus korupsi aparat desa mencapai Rp111 miliar. Korupsi perangkat desa hanya satu tingkat di bawah korupsi sektor politik, yang dilakukan anggota legislatif dan kepala daerah. Kelompok ini menyumbang kerugian teratas, yaitu Rp115 miliar.


Inisiasi Desa Antikorupsi


KPK meluncurkan program Desa Antikorupsi di Panggungharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini menjadi proyek percontohan pertama di Indonesia, setelah dipilih oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa PDTT, Kementerian PAN RB dan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI). KPK berharap, setelah ini setiap provinsi memiliki desa percontohan antikorupsi, dan lima tahun ke depan 74.961 desa di Indonesia mengimplementasikan bebas korupsi.


Direktur Peran Serta Masyarakat KPK, Kumbul Kusdwijanto Sudjadi, menyebut selama 2020 lalu, ada 141 kasus korupsi desa melibatkan 132 kepala desa dan 50 aparatur desa. Sementara di semester satu 2021, ada 62 kasus korupsi desa, melibatkan 61 kepala desa dan 24 aparatur desa.


“Kita tidak membuat program atau semacam aplikasi baru. Tapi kita mensinergikan program dari pusat, daerah hingga desa supaya tidak ada kebocoran atau korupsi. Yang diutamakan dalam implementasi adalah pelibatan masyarakat,” kata Kumbul.


KPK berharap aparatur dan masyarakat desa aktif terlibat dalam pendidikan, pencegahan maupun penegakan hukum tindak kejahatan korupsi.


“Desa memiliki otonomi khusus dalam tata kelola keuangan dan manajemen. Kita ingin membangun pola pikir, jika desa antikorupsi, maka kecamatan kemudian kabupaten hingga provinsi juga anti orupsi. Ini dari bawah ke atas,” tambah Kumbul.


Empat Derajat Korupsi Desa


Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar, juga mengakui korupsi kini merambah hingga ke desa-desa.


“Ini berdampak, punya konsekuensi risiko korupsi turut beralih, dari tingkat elit di atas atau supra desa menjadi di desa. Dulu korupsi adanya di supradesa sekarang korupsi adanya di desa,” kata Halim.


Kementerian Desa PDTT sendiri mengidentifikasi empat derajat korupsi yang dilakukan aparat desa. Derajat pertama adalah korupsi sistemik, yang bermula dari kebijakan pemerintah daerah hingga ke desa. Kasus ini terungkap dari penangkapan kepala daerah bersama para kepala desa dalam kasus korupsi tertentu.


Kasus korupsi derajat kedua adalah korupsi kepala desa dan perangkat desa untuk memperkaya mereka melalui penggunaan Dana Desa. Derajat korupsi ketiga adalah pungutan liar yang masih marak, dan dilakukan aparat desa kepada warganya sendiri. Sedangkan derajat keempat adalah pseudo korupsi, yang berpusat pada kesalahan administrasi karena ketidakpahaman aparat desa sendiri.


Namun, Halim menyebut desa juga punya upaya mencegah diri mereka melakukan korupsi. Setidaknya terlihat dari naiknya jumlah desa yang secara sadar mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan.


“BPS mencatat, kebutuhan pelatihan keuangan desa meningkat dari 31 persen pada 2019 menjadi 79 persen desa pada 2020,” ujarnya.


Kementerian juga menghadirkan Pendamping Desa, agar dalam menyusun serta menyelenggarakan program pembangunan, aparatur desa memiliki pendamping. Halim juga menyebut dirinya telah menandatangani Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020, yang mensyaratkan proses perencanaan pembangunan desa harus diawali dengan pendataan berbasis SDGs Desa.


Edukasi Masyarakat Desa Penting


Kepala Desa Panggungharjo, DI Yogyakarta, Wahyudi Anggoro Hadi berterimakasih karena desanya menerima kepercayaan sebagai desa percontohan antikorupsi. Kepercayaan ini, katanya, memicu aparatur desa dan masyarakatnya untuk lebih mampu bersikap antikorupsi.


Wahyudi sendiri memaparkan, survei persepsi korusp yang dilakukan pemerintah desanya, mengungkap bagaimana masyarakat memandang tindak korupsi.


“Menjadi bagian kultur pedesaan, untuk menganggap bahwa pelayanan yang diberikan pemerintah harus dikompensasi barang maupun uang. Kadang-kadang warga datang membawa pisang, itu di Panggungharjo masih terjadi. Dan itu menjadi target untuk meningkatkan edukasi ke masyarakat,” papar Wahyudi. (dw/*)