dok. istimewa (9/12) Merujuk hasil jajak pendapat Indikator Politik Indonesia pada Mei 2022, kepercayaan terhadap KPK bahkan paling rendah di antara lembaga penegak hukum lainnya.
Jakarta - Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022 menjadi catatan penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi ini anjlok, yang diduga tak terlepas dari perilaku insan di dalamnya.
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah ini berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir.
"Citra KPK terekam berada di angka 57 persen, paling rendah dalam lima tahun terakhir," ujar peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti, dikutip dari Harian Kompas, Senin (8/8/2022).
Pada survei Januari 2015, citra KPK masih terjaga di angka 88,5 persen, kemudian turun ke angka 68,8 persen pada Oktober 2015. Angka itu kembali naik menjadi 78 persen pada April 2016, meskipun sempat turun ke angka 76,6 persen pada bulan Oktober.
Citra KPK kembali naik ke angka 84,8 persen pada April 2017 dan meningkat menjadi 87,3 persen di bulan ke-10. Akan tetapi, pamor Lembaga Antikorupsi itu terus turun hingga angka 65,8 persen pada Agustus 2020.
Kemudian, kepercayaan publik kembali meningkat pada April 2021 dengan angka 76,9 persen. Namun, posisi itu lagi-lagi turun pada Oktober 2021 di angka 68,6 persen, meskipun pada Januari 2022 sempat naik ke angka 76,9 persen.
"Dalam perjalanannya, citra lembaga ini cenderung menurun, terutama setelah Undang-Undang KPK direvisi pada September 2019," kata Rangga.
4 catatan
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menyatakan, ada empat catatan yang membuat kepercayaan publik terhadap KPK turun.
Pertama, KPK dinilai telah kehilangan independensinya sebagai lembaga antikorupsi yang sengaja dibentuk untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Berikutnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang merupakan revisi kedua atas UU 30/2002, justru semakin mengerdilkan wewenang KPK sebagai lembaga.
"Ketiga, KPK semakin susah dijadikan teladan integritas karena banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh insan KPK, khususnya para pimpinannya," ujar Zaenur saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (8/12/2022) malam.
Ia pun menyoroti kasus Ketua KPK Firli Bahuri yang menampilkan gaya hidup mewah serta mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang melakukan pertemuan dengan pihak berperkara serta diduga menerima gratifikasi.
Belum lagi adanya sejumlah insan KPK yang diduga terjerat dalam lingkaran suap penanganan perkara, pencurian barang bukti, serta berbagai tindak pelanggaran lainnya. Zaenur berpandangan bahwa tindakan-tindakan seperti itu menunjukkan minimnya integritas insan di internal lembaga tersebut.
"Itu kemudian menjadikan publik semakin tidak bisa menjadikan KPK sebagai teladan soal integritas," ujar Zaenur.
Catatan terakhir terhadap KPK yakni upaya pemberantasan korupsi yang dilihat dari kasus-kasus yang ditangani. Lembaga Antikorupsi itu minim dalam menangani kasus strategis.
Kasus strategis adalah kasus yang menimbulkan kerugian negara besar, menyangkut hajat hidup orang banyak, atau dilakukan oleh pejabat dengan jabatan yang paling tinggi.
"Kalau dilihat dari kasus strategis sejauh ini yang ditangani oleh KPK, mungkin kasus bantuan sosial ya yang menyeret Menteri Sosial Juliari Batubara dan yang saat ini tengah ditangani yaitu kasus korupsi di Mahkamah Agung," jelas aktivis antikorupsi itu.
Kalah dari lembaga lain
Melihat berbagai upaya penindakan korupsi yang dilakukan KPK, tak heran, menurut Zaenur, bila kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut kalah dari lembaga penegak hukum lain, seperti Kejaksaan Agung.
Di bawah kepemimpinan ST Burhanuddin, Kejagung memproses kasus korupsi Jiwasraya yang nilai kerugiannya mencapai puluhan triliun.
Tak hanya itu, Kejagung juga memproses kasus dengan nilai kerugian besar lainnya dan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kasus di PT Asabri, ekspor CPO, dan kasus Surya Darmadi.
Merujuk hasil jajak pendapat Indikator Politik Indonesia pada Mei 2022, kepercayaan terhadap KPK bahkan paling rendah di antara lembaga penegak hukum lainnya.
Dalam survei yang menyasar 1.213 responden dengan metode random digit dialing (RDD) tersebut, terungkap bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi lembaga yang paling tinggi tingkat kepercayaannya.
Disusul kemudian Presiden, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, pengadilan, baru kemudian KPK. KPK hanya berhasil di atas MPR, DPD, DPR dan partai politik.
"KPK di antara lembaga penegak hukum tingkat trust-nya paling rendah," ucap Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi dalam rilis surveinya, Rabu (8/6/2022).
Penindakan yang lemah
Tak sampai di sana, upaya penindakan perkara korupsi yang dilakukan KPK juga tidak menunjukkan ketegasan.
Zaenur menyoroti kasus dugaan gratifikasi yang menyeret Gubernur Papua Lukas Enembe. Bukannya segera menangkap Enembe, Ketua KPK justru menemui Enembe yang disebut telah ditetapkan sebagai tersangka.
Padahal, tindakan itu melanggar UU KPK yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK dilarang menjalin hubungan dalam bentuk apapun dengan tersangka atau pihak yang berperkara.
Ketidaktegasan KPK juga terlihat dalam penanganan kasus helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara (AU).
Komisi Antirasuah itu hingga kini belum berhasil menghadirkan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna untuk memberikan keterangan dalam proses persidangan.
Dalam beberapa kesempatan saat dihubungi Kompas.com, Agus mengaku belum menerima surat panggilan dari KPK.
"Dalam kasus AW-101, KPK sepertinya tidak cukup berdaya ketika ada penolakan dari seorang saksi yaitu eks KSAU," ucap Zaenur.
"Padahal, kalau memang saksi itu dianggap masih terkait dengan institusi TNI, panggilannya bisa juga dilayangkan kepada TNI, biar TNI yang melayangkannya kepada yang bersangkutan sebagai saksi," jelas dia.
Dalam momen memperingati Hakordia kali ini, Zaenur berharap tidak hanya menjadi seremoni yang tidak berdampak terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Manurutnya, Hakordia harus menjadi sarana evaluasi dan kontemplasi dalam perjalanan dan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
"Ini sangat relevan dengan kepercayaan publik, Hakordia harusnya menjadi sarana refleksi dan juga komitmen perbaikan ke depan dengan mencanangkan program yang penting untuk pemberantasan korupsi," tutur Zaenur. (dw/*)